"Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Q.S. al-Isrâ'/17: 70.
Di antara faktor yang mengantarkan kita menjadi manusia mulia adalah kemampuan mendapatkan al-thayyibât (hal-hal yang baik-baik). Al-Thayyibât mengandung makna halal, bersih dan sehat. Dalam al-Quran kata-kata al-thayyibât
sering digunakan untuk menunjuk pada makanan (Q.S. al-Mâidah/5: 4-5,
al-Mu'minûn/23: 51) dan rizki pada umumnya baik yang bersifat material,
intelektual, maupun spiritual (Q.S. al-Anfâl/8: 26, Yûnus/10: 93,
al-Nahl/16: 72). Kita akan menjadi mulia kalau mampu memadukan secara
imbang pola hidup bersih dan sehat baik secara intelektual, spiritual,
maupun material. Rasulullah SW bersabda: Sesungguhnya Allah
Ta’ala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan mencintai
kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan mencintai
kedermawanan, maka bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah kamu
menyerupai orang Yahudi.” (H.R. al-Tirmidzi.)
Possitive Thinking
Pola hidup Bersih dan sehat (PHBS) dimulai dengan pola pikir. Kekuatan
pikiran dapat merubah perilaku seseorang. Kekuatan Pikiran dapat
mengubah cara pandang dan pola hidup. Berbagai penderitaan yang dialami
seseorang, sering terjadi karena lemahnya pikiran. Membangun keyakinan
secara alami sangat diperlukan agar dapat menatap masa depan dengan
gemilang. Kekuatan pikiran dapat menghasilkan perilaku yang lebih santun
dan bijak. Kekuatan pikiran yang dikelola dengan baik tidak saja
berpengaruh pada kesehatan jiwa, lebih dari itu, ia akan berpengaruh
pada kesehatan jasmani, kekayaan, kepercayaan diri, dan kreatifitas.
Ada sepuluh sifat utama yang menjadi ciri khas kepribadian positif,
demikian dikatakan oleh Dr. Ibrahim Elfaky, sang motivator muslim dunia,
dalam bukunya, Quwwah al-Tafkîir. Sepuluh sifat itu adalah:
1). Beriman, memohon bantuan, dan tawakkal kepada Allah.
2). Hidup dengan nilai-nilai luhur seperti nilai jujur, amanah,
menyukai kebaikan, murah hati, bergantung hanya kepada Allah, dan
meneladani akhlaq Rasulullah SAW.
3). Memiliki cara pandang yang jelas.
4). Keyakinan dan proyeksi positif.
5). Selalu mencari jalan keluar dari berbagai masalah.
6). Belajar dari masalah dan kesulitan.
7). Tidak membiarkan masalah dan kesulitan mempengaruhi kehidupannya.
8). Percaya diri, menyukai perubahan, dan berani menghadapi tantangan.
9). Hidup dengan cita-cita, perjuangan dan kesabaran.
10). Pandai bergaul dan suka membantu orang lain. Jangan biarkan
pribadi kita disandra oleh pikiran negatif, Mari berbenah untuk hidup
lebih baik dengan menguasai pikiran kita. Berhasil menguasai pikiran
berarti telah berhasil memenangkan peperangan melawanal-nafs al-lawwamah (nafsu hina).
Ibrahim Elfaky kemudian menyuguhkan kepada kita sepuluh kiat mengubah
berpikir negatif menjadi berpikir positif. Sepuluh kiat itu adalah:
1). Memiliki keinginan yang menggebu untuk mewujudkan cita-cita.
2). Memiliki keputusan yang kuat, karena keputusan yang kuat tidak
membuka celah bagi keraguan. Ia memberikan kekuatan yang luar biasa pada
seorang untuk mewujudkan impian hidupnya.
3). Bertanggung jawab penuh.
4). Memiliki persepsi yang sadar, karena persepsi merupakan awal perubahan dan perubahan adalah awal kemajuan.
5). Menentukan tujuan
6). Adanya dukungan dari dalam diri sendiri.
7). Menggunakan waktu secara positif, tidak menyia-nyiakannya.
8).Mengembangkan diri dengan membaca, mendengarkan, mengadakan kajian, dan berlatih.
9). Diam dan membuat renungan harian.
10). Istirahat dari padatnya aktifitas untuk mengendurkan syarat, merasakan ketenangan, dan kedamaian.
Dengan berpikir positif, kita dapat melihat masalah sebagai tantangan,
tidak melihat masalah sebagai cobaan dan petaka yang menyengsarakan.
Hidup dapat dinikmati, menerima keadaan dengan penuh tawakkal, berbesar
hati, dengan terus berusaha mendapatkan yang terbaik. Dengan berpikir
positif, kita terbuka untuk menerima saran dan ide orang lain sehingga
muncul hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu lebih baik. Kita
segera menyingkirkan pikiran negatif juh-jauh ketika terlintas dalam
diri kita. Dengan berpikir positif, kita dapat mensyukuri nikmat, tidak
berkeluh-kesah.
Sucikan Hati
Agar pola hidup bersih dan sehat terwujud, maka kita harus membersihkan
hati.Ia merupakan sifat lembut Ketuhanan yang terdapat dalam jiwa
manusia.Ia digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai mudhghah
(segumpal daging, potensi) yang akan menentukan baik buruknya kehidupan:
"Ketahuilah,sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila
dia baik maka jasad tersebut akan menjadi baik, dan sebaliknya apabila
dia buruk maka jasad tersebut akan menjadi buruk, Ketahuilah segumpal
daging tersebut adalah hati". (H. R. al-Bukhari).
Orang yang mampu menjaga hati agar tetap bersih dan sehat adalah orang
ikhlas. Ikhlas itu sendiri bermakna membersihkan sesuatu dari kotoran
sehingga menjadi jernih, bening, dan bersih. Orang ikhlas adalah orang
yang membersihkan hatinya dalam setiap aktifitas murni hanya untuk Allah
saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain serta
tidak riya’ (pamer) dalam beramal. Orang yang ikhlas selalu
memurnikan niat hanya mengharap ridha Allah saja dalam setiap amal,
tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Hati yang ikhlas akan menyelamatkan seorang mukmin dari siksa neraka. Allah berfirman: “Pada
hari itu (kiamat), tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi
orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (Q. S. al-Syu’arâ’/26: 88-89).
Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali dilakukan dengan ikhlas demi mengharap wajah-Nya.” (H.R. al-Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili). Beliau juga bersabda: “Orang
yang paling berbahagia dengan syafa’atku kelak pada hari kiamat adalah
orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dari dalam hati
atau dirinya.” (H.R. al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Para ulama memahami qalb salîm (hati yang bersih dan sehat) dalam ayat di atas sebagai hati yang bersih dari segala syahawât
(keinginan-keinginan) yang melampaui batas yang dibenci Allah. Itulah
hati ikhlas yang menyelamatkan manusia dari siksa pedih dan
menghantarkannya menggapai nikmat surga. Al-Sa’di berpendapat: “Qalb
salîm (hati yang bersih) itu adalah hati yang bersih dari syirik,
keragu-raguan, dan terbebas dari kecintaan kepada keburukan dan dosa
atau perilaku terus menerus berkubang dalam bid’ah dan dosa-dosa. Karena
hati itu bersih dari segala yang disebutkan tadi, maka konsekunsinya
adalah ia menjadi hati yang diwarnai dengan lawan-lawannya yaitu;
keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kepada kebaikan serta dihiasinya
-tampak indah- kebaikan itu di dalam hatinya. Sehingga
keinginan dan rasa cintanya akan senantiasa mengikuti kecintaan Allah,
dan hawa nafsunya akan tunduk patuh mengikuti apa yang datang dari
Allah.”(Taisir al-Karim al-Rahman, 2: 812).
Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan: “Hati itu adalah hati yang
bersih dari segala syahwat/keinginan nafsu yang bertentangan dengan
perintah dan larangan Allah serta terbebas dari segala syubhat yang
bertentangan dengan berita yang dikabarkan-Nya.” Lebih lanjut Ibnul Qayyim menjelaskan tentang pemilik hati yang bersih yang akan menyelamatkan dirinya itu: “…Ia
akan senantiasa berusaha mendahulukan keridhaan-Nya dalam kondisi
apapun serta berupaya untuk selalu menjauhi kemurkaan-Nya dengan segala
macam cara…”. Kemudian, beliau juga mengatakan, “… amalnya
ikhlas karena Allah. Apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah.
Apabila dia membenci maka bencinya juga karena Allah. Apabila memberi
maka pemberiannya itu karena Allah. Apabila tidak memberi juga karena
Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15)
Orang beriman sangat beruntung karena telah mensucikan dirinya, menjadikan nafsu bersih terkendali (al-nafs al-muthmainnah). ”Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), Dan Dia
ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat. Tetapi kamu (orang-orang kafir)
memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”. Q.S. al-A’lâ/87: 14-17
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya". Q.S. al-Syams/91: 9-10.
Seorang yang hatinya bersih dan sehat akan sanggup merubah jiwa marah
menjadi jiwa sejuk. Jiwa pendendam akan berubah menjadi jiwa pemaaf.
Jiwa kikir akan berubah menjadi jiwa pemurah. Jiwa iri dengki akan
berubah menjadi jiwa lapang. Jiwa kerdil akan berubah menjadi jiwa
besar. Jiwa pesimistis negatif akan berubah menjadi jiwa optimistis
positif. Jiwa sombong akan berubah menjadi jiwa santun bersahaja. Jiwa
kebencian akan berubah menjadi jiwa kasih sayang. Jiwa yang kotor dan
jahat (al-nafs al-ammârah bi al-sû', al-nafs al-lawwâmah), akan berubah menjadi jiwa bersih terkendali (al-nafs al-muthmainnah). Jiwa itulah jiwa yang diridhai Allah SWT dan akan mendapatkan nikmat surgwi tanpa batas. Firman Allah SWT.: ”Hai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke
dalam syurga-Ku. Q.S. al-Fajr/89: 27-30
Ibn Hazm menyebutkan bahwa ikhlas ibarat ruh dalam jasad. Jasad akan
mati tak bertenaga ketika kehilangan ruh. Itulah maka kenapa para
generasi salaf dan para mujahid dapat mengantarkan umat Islam menuju
kejayaannya. Karena mereka hidup, memiliki ruh, dan bangkit. Mereka
bekerja dan berjuang semata ikhlas lillahi ta’ala. Amal perbuatan mereka
bergizi, penuh makna, dan kekuatan, karena ada ruhnya, yaitu ikhlas.
Amal yang demikian mengantarkan umat mencapai masa kejayaannya.
Berbeda dengan kondisi ketika hati kotor penuh daki, dimana setiap
orang berbuat penuh pamrih, ukuran perbuatan dinilai dari banyaknya
orang yang berdecak kagum. Hidup penuh kebohongan, kemunafikan dan
kepura-puraan. Tampak hebat padahal rapuh, terlihat kaya padahal miskin,
kelihatan khusyu’ padahal jahat. Maka kebobrokan akan melanda
pelakunya, keluarga, bangsa dan negaranya. Hidup serba semu, kekayaan
nisbi, hasil korupsi, jabatan diraih karena penuh tipu rekayasa, dan
bermuamalah penuh basa basi menebar janji tanpa bukti. Ruh telah hilang
dari jasad. Ikhlas telah lenyap dari amal perbuatan.
Bersihkan Harta dan Lingkungan.
Ketika hendak menghadap Allah dalam Shalat, kita diharuskan dalam
keadaan suci dan bersih. Bersih diri, pakaian dan tempat. Aktifitas
menjaga kebersihan diwajibkan dalam syariat. Disebutkan dalam sebuah
Hadist: "Al-thahûr syatr al-îmân, kebersihan itu sebagai dari iman. Bersih, suci (thâhir)
adalah keadaan tanpa najis/hadas, baik besar maupun kecil pada badan,
pakaian, tempat, air dan sebagainya. Sedangkan bersuci merupakan
aktifitas seseorang untuk mencapai kondisi suci, seperti berwudhu,
tayyamum dan mandi junub.
Selain itu juga menjaga kebersihan makanan, minuman, menjaga kebersihan pakaian, lingkungan dn lain-lain. Allah berfirman:"Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!, dan Tuhanmu agungkanlah!, dan pakaianmu bersihkanlah,dan perbuatan dosa tinggalkanlah,(Q.S. al-Muddatsir/74: 1- 5).
Kebersihan lingkungan erat kaitanya dengan masalah kesehatan.
Lingkungan yang bersih adalah lingkungan yang sehat. Kelalaian dalam
menjaga kebersihan lingkungan merupakan awal dari mewabahnya berbagai
penyakit. Banyak wabah penyakit yang disebabkan oleh lingkungan yang
kotor. Menjaga kebersihan lingkungan dimulai dari kebiasaan membuang
sampah pada tempatnya, sebagimana ajaran mulia yang menyetarakan
membuang sampah dengan sedekah, Wa imathah al-adza 'an al-tharîq shadaqah (menyingkirkn duri, sampah, di jalan termasuk sedekah).
Kita diperintah membersihkan lingkungan, tempat tinggal dan tempat
ibadah. Kita juga diperintah untuk membersihkan harta dari unsur-unsur
haram baik secara materialnya maupun proses mendapatkannya, termasuk
mengeluarkannya dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah, wakaf dan
lain-lin.
Suatu malam Rasulullah SAW sulit memejamkan mata. Badan di bolak balik
tapi masih juga sulit tidur. Istri beliau bertanya apa gerangan yang
menyebabkan beliau sulit tidur. Beliau menjawab: "Tadi aku makan sebutir
kurma yang tergeletak karena khawatir akan terbuang sia-sia. Tapi aku
cemas, kalau kurma yang dikirim ke sini untuk disedekahkan". Rasulullah
SAW khawatir kalau makan barang sedekah yang bukan menjadi haknya.
Kekhawatiran itu membuat beliau sulit tidur. Bagaimana dengan orang yang
memakan makanan yang bukan haknya?, memakan makanan hasil riba, suap,
korupsi, manipulasi, rampasan, curian, rampokan, penjarahan dan lain
sebagainya?. Makanan yang halal akan menyehatkan jiwa dan raga. Jiwa
menjadi tenang, tenteram, hilang dari rasa cemas dan resah. Dan badan
menjadi sehat. Sedangkan makanan kotor akan membawa penyakit, hati
gelisah, dan pikiran tidak tenang.
Mestinya makanan bersih adalah makanan seorang muslim. Minuman bersih
menuman muslim. Pakaian bersih pakaian muslim. Harta bersih harta
muslim. Rumah bersih rumah muslim. Pasar bersih pasar muslim. Lingkungan
bersih lingkungan muslim. Masyarakat bersih masyarakat muslim. Negara
bersih negara muslim.
Dunia kini menampilkan isu-isu global seperti pemberantasan korupsi, lingkungan hidup (enveronment), pemanasan global (global worming). Kerusakan moral, lingkungan, sosial, politik, disebabkan manusia berperilaku kotor, merusak dan cenderung menghancurkan. ”Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Q.S. al-Rûm/30: 41
Tapi apa yang terjadi, kotoran menumpuk dimana-mana, sampah berserakan,
dan prilaku jorok, kumuh, dan dekil, sering menjadi lebel muslim.
Masyarakat Islam dikenal sebagai masyarakat yang kotor. Kotor makanan,
minuman, pakaian, rumah, pasar, sekolah, kota, bahkan tempat ibadahnya.
Nilai Islam tentang kesucian, kebersihan, dan kesehatan sering kali
baru dipahami sebatas dogma, ajaran, dan aksesoris belaka, belum
diimplementasikan, dibumikan atau ditransformasikan dalam hidup
sehari-hari.
Kita dapat menyaksikan seorang politisi, umpamanya, yang berperilaku
korup, kolusi, dan nepot. Dia beranggapan, bahwa dengan menjalankan
syariat Islam yang bersifat ritual, maka dosa-dosanya telah terhapus.
Seorang koruptor kelas kakap, merasa dosanya berkurang setelah harta
hasil korupsinya dibayarkan zakat, dibuat membangun masjid, atau dibuat
membangun panti asuhan. Seorang birokrat merasa telah diampuni
dosa-dosanya setelah aktif mengikuti pengajian, memakai baju taqwa,
rajin puasa Senin dan Kamis, aktif shalat Tahajjud, menjalankan haji dan
umrah berulang-ulang, dan rajin menyumbangkan hasil-hasil korupsinya ke
lembaga-lembaga sosial.
Alangkah naifnya, misalnya, bahwa seorang pejabat dapat menjalankan
haji dan umrah berkali-kali dari hasil korupsi, merasa bisa khusyu’
dalam shalat di mushalla mewah dalam kompleks rumahnya yang megah yang
dihasilkan dari hasil megakorupsi. Pola hidup semacam itu tidak akan
mendapatkan kebahagiaan hakiki. Kebahagiaan hanya dalam pandangan orang.
Dalam hati dia menangis penuh penderitaan.
Mari kita maknai kehidupan kita dengan pola hidup bersih dan sehat guna
membangun peradaban global. Pola hidup bersih dan sehat dalam
perspektif Islam, bukan bersih dan sehat semu, tapi bersih dan sehat
hakiki, terwujud dalam banyak kegiatan kita secara pribadi maupun
kelompok. Bersih dan sehat secara lahir dan batin yang saling
melengkapi. Bersih dan sehat yang membuahkan kedamaian, solidritas,
tolong menolong, dan kasih sayang.